Jumat, 30 Mei 2008

SISTEM KOMUNIKASI INDONESIA

SISTEM KOMUNIKASI PEDESAAN

II.1. Pengertian Sistem Komunikasi Pedesaan

sistem komunikasi dapat diartikan sebagai seperangkat hal-hal tentang proses penyampaian pesan yang berhubungan satu sama lain dan membentuk suatu keseluruhan. Layaknya suatu sistem, sistem komunikasi terdiri dari 4 (empat) hal, Yaitu:

a. Objek-objek dari sistem komunikasi, yang berupa unsur-unsur komunikasi (komunikator, pesan, media, komunikan, efek).

b. Atribut Sistem komunikasi, yang berupa kualitas atau properti sistem itu dan unsur-unsur komunikasinya.

c. Hubungan internal sistem komunikasi, hubungan antara peserta-peserta komunikasi (komunikator dan komunikan) sebagai anggota sistem, yang dapat ditandai melalui pesan-pesan komunikasi mereka.

d. Lingkungan sistem komunikasi, suatu sistem komunikasi memiliki suatu lingkungan, yaitu: sistem sosial, sistem politik, sistem budaya dan sebagainya. Mereka tidak hadir dalam suatu kevakuman, tetapi dipengaruhi oleh keadaan sekitarnya.

Redi Panuju (1997), mengisyaratkan untuk mempelajari sistem komunikasi Indonesia haruslah membahas dua hal. Yaitu: Pertama, Sistem komunikasi Indonesia mempunyai makana pola-pola komunikasi yang secara idealistic dan normative diaharapkan ada dan terjadi di Indonesia. Bahasan mengacu pada nilai-nilai, norma-norma, dan hukum yang merumuskan bagaimana seharusnya komunikasi dijalankan atau terjadi. Kedua, sistem komunikasi Indonesia mempunyai makna deskriptif dari gejala komunikasi yang aktual, sedang terjadi di Indonesia. Bahasan mengacu kepada fakta-fakta empiris yang secara objektif benar-benar ada atau terjadi.

Menurut geografisnya, SKI dibagi menjadi dua bagian besar yaitu Sistem Komunikasi pedesaan dan perkotaan. Masing- masing daerah memiliki ciri khas mendasar. Sistem kmunikasi di pedesaan lebih kuat dalam menjalankan komunikasi antar personal. Sedangkan sistem komunikasi perkotaan lebih dipercayakan pada media massa. Hal itu ada hubungannya dengan unsur sosiologis.

II.2. Faktor yang Mempengaruhi Sistem Komunikasi Pedesaan

Keberhasilan komunikasi pedesaan ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya terdiri dari aspek infrastruktur, layanan, business model, layanan pelanggan, dan kemudahan pemasangan. Akar permasalahan adalah: infrastruktur harus murah, layanan harus mendukung kebutuhan sosial, ekonomi, dan pemerintahan di pedesaan, model bisnis harus menarik bagi investasi, layanan pelanggan yang memudahkan perolehan pelanggan dan pembayaran, serta pemasangan peralatan yang dapat dilakukan tenaga setingkat teknisi lulusan STM/SMK. Sistem komunikasi di desa dengan 16 pengguna memiliki prospek yang baik (dapat mencapai IRR > 30%, BEP < 3 tahun) bila unit akses desa tidak melebihi Rp. 12 juta Armein Z. R. LangiPusat Penelitian Teknologi Informasi dan Komunikasi, danKelompok Keahlian Teknologi Informasi, Sekolah Teknik Elektro dan Informatika.

Selain itu, masyarakat pedesaan bercirikan homogen, terbingkai dalam aturan- atiuran nilai adat yang kuat dan sedikit tertutup. Keluar masuknya informasi dalam lingkungan tertumpu pada hubungan personal. Selain faktor verbal, komunikasi di pedesaan sangat tergantung pada kehadiran sosok opinion leader. Opinion leader adalah orang yang dipercaya menjadi titik tolak dan poros bagi masyarakat setempat. Wujud nyata opinion leader akan ditemui pada sosok pemuka agama seperti Ustadz, Mubaligh, Pastor maupun sosok panutan seperti guru dan sesepuh. Opinion leader begitu sentral bagi berjalannya komunikasi pedesaan. Opinion leader secara garis besar dianggap sebagai orang yang lebih tahu sebagai pihak penerjemah pesan dari luar maupun ke dalam desa.

Indonesia dengan ciri khasnya sebagai negara multietnis akan memiliki sistem komunikasi yang beraneka ragam dalam heterogenitas suku. Sekalipun teknologi komunikasi sudah berembang pesat, tetapi dengan mayoritas masyarakat Indonesia yang masih tinggal di pedesaan, maka peran opinion leader masih sangat besar. Jika dihubungkan dengan bahsan sebelumnya maka opinion leader termasuk sebagai golongan senior. Tidak hanya terbatas berdasarkan sekup wilayah tetapi dapat berada dalam lingkungan pergaulan, agama, dsb.

Opinion Leader ada di Setiap Level Komunikasi

Komunikasi yang terbagi menjadi empat level jika diamati akan melibatkan peran opinion leader. Pada level interpersonal, sekalipun sangat terbatas pasti tetap ada yang lebih dominan. Begitu juga dalam komunikasi kelompok, komunikasi organisasi dan komunikasi massa.

Pada komunikasi massa, opinion leader secara langsung akan diduduki oleh pelaku komunikasi oganisasi, demikian juga komunikasi organisasi memiliki opinion leader dari level- level dibawahnya. Hal yang mendasar yaitu bahwa opinion leader memiliki posisi yang cukup kuat untuk mempengaruhi khalayak. Kekuatan itu dapat berasal dari factor budaya, agama atau pengalaman.

Senioritas dan Teori Komunikasi

Faktor senioritas yang cukup berpengaruh di Indonesia pada umumnya dan masyarakat pedesaan pada khususnya apabila dikaji dalam teori komunikasi akan masuk pada aliran mikro khususnya effect research. Effect Research mengaalisas bagaimana efek media mampu menjangkau khalayak.

Kehadiran sosok opinion leader menunjukkan adanya keterlibatan yang kuat dari komunikasi interpersonal dalam proses komnuasi massa secara keseluruhan. Opinion leader itu sendiri merupakan individu dalam masyarakat yang menerima informasi dari media dan meneruskannya dalam kelompok asalnya.

Melalui media massa yang saai ini sudah semakin banyak berkembang dengan segementasi- segmentasi yang semakin sempit, masyarakat mulai dihadapkan pada kondisi untuk memilih. Dengan demikian arus efek media bisa langsung sampai pada audiens. Namun sekalipun demikian, adakalanya khalayak sangat tergantung pada informasi yang disampaikan oleh pihak tertentu yang dianggap berwenang. Sebagai contoh, saat kasus beberapa aliran sesat marak terjadi di Indonesia, secara legal dalam undang- undang sudah diatur ketentuan suatu aliran dikatakan sesat atau tidaknya. Resminya, aturan Negara berada di atas segalanya tetapi pada praktiknya ada hal yang dianggap paling final apabila sebuah fatwa dikeluarkan oleh Majelis Alim Ulama Indonesia (MUI). Mengapa justru yang dijadikan pedoman justru keputusan dari MUI? Hal itu kembali pada mayoritas orang Indonesia yang selain faktor geografis yang berpengaruh terhadap terbentuknya opinion leader, faktor agama juga dapat berpengaruh. Islam menjadi agama mayoritas penduduk Indonesia.

Dalam ruang lingkup umat Islam, filter informasi akan kembali kepada organisasi yang menaunginya. Jadi pada kasus ini, opinion leader diduduki oleh pelaku komunikasi organisasi yang menyandang posisi mayoritas. Dari komunikasi organisasi yang dimaksud di atas sesungguhnya masih bisa diturunkan ke dalam kelas interpersonal yaitu berupa figur KH. Abdurrahman Wahid, Amin Rais, dan ulama- ulama lainnya.

Sebenarnya masih banyak contoh tentang adanya peran opinion leader dalam komunikasi, terlebih dalam SKI apalagi jika ditrunan dalam cakupan geografis yang lebih sempit. Garis besar dari teori Limited Effect adalah adanya tiga poros yaitu media massa, audience dan opinion leader.

Berhubung daerah- daerah di luar kota juga sedah terjamah oleh perkembangan teknologi dan informasi maka tidak menutup kemungkinan jika masyarakat sedah memliki pola konsumsi media massa, baik itu cetak maupun elektronik. Namun, pada prartiknya, apa yang disampaikan media kepada khalayak juga tak sesempurna yang didambakan. Untuk hal- hal yang laten seperti agama dan kepercayaan, peran opinion leader sangat kental nuansanya sebagai pamong yang menetralisir arus informasi.

II.3. Perkembangan Sistem Komunikasi Pedesaan Indonesia

Dengan berkembangnya teknologi komunikasi, tidak berarti dapat memudahkan masyarakat khususnya masyarakat pedesaan yang ada di Indonesia berkomunikasi secara lancar. Ini bisa saja disebabkan oleh letak geografis dari daerah itu sendiri.

Mulai tahun 2005 masyarakat di pedesaan, daerah terpencil, daerah tertinggal, pedalaman hingga daerah-daerah terluar yang berbatasan dengan negara-negara tetangga seharusnya sudah dapat menikmati telepon, Internet...dengan program ICT Pedesaan. Karena ulah pihak-pihak tertentu yang mengutamakan kepentingan kapitalis, mengobral janji investasi akhirnya masyarakat pedesaan di 40.000 Desa hingga saat ini belum mendapatkan sarana telekomunikasi minimal layanan dasar (voice) berupa telepon. Berbagai cara dilakukan, tender-tender USO digelar tak berujung...Rakyat pedesaan yang menjadi korban...terpuruk dan semakin terpuruk ditengah-tengah himpitan ekonomi yang semakin membumbung akibat kenaikan BBM, Tarif Dasar Listrik, mahalnya sembako dan ketiadaan lapangan kerja.

Pola kompetisi kerakyatan dengan membangun sarana telekomunikasi yang melibatkan rakyat pedesaan mulai dari Koperasi, pengusaha-pengusaha asli daerah, Pemerintah Daerah seperti yang diamanatkan UU Telekomunikasi Nomor. 36 Tahun 1999 sebenarnya sangat ideal dijalankan, disamping membuka komunikasi masyarakat pedesaan dari keterisoliran akibat tidak tersedianya sarana telekomunikasi serta meningkatkan taraf ekonomi masyarakat pedesaan disamping membuka lapangan kerja baru di sektor telekomunikasi.

Rakyat Menggugat

Sayangnya Rakyat Indonesia khususnya di pedesaan belum mengetahui rencana pemerintah yang sebenarnya yang seharusnya sudah menyediakan sarana telekomunikasi di pedesaan, daerah terpencil, daerah tertinggal, pedalaman hingga daerah-daerah terluar yang berbatasan dengan negara-negara tetangga.

Sarana transportasi dan kondisi cuaca yang menghambat serta ketidaktersediaan sarana telekomunikasi yang mengisolir rakyat di pedesaan, pedalaman sehingga rakyat di pedesaan tidak mengetahui hak-haknya dalam kompetisi sektor telekomunikasi.

Seandainya rakyat pedesaan mengetahui dan mengerti hak-hak kompetisi pada sektor telekomunikasi, mungkin mereka akan menggugat pemerintah, memaksa pemerintah untuk segera membangun sarana telekomunikasi di desanya. Mungkin mereka akan menggugat BRTI untuk segera mengeluarkan regulasi pembangunan sarana telekomunikasi di Pedesaan dimana investor-investor sektor telekomunikasi diarahkan untuk membangun sarana telekomunikasi di Pedesaan, di 40.000 desa. Masyarakat di 40.000 desa tidak perlu Kode Akses SLJJ yang hanya diberlakukan di 5 Kota Besar saja.

Rakyat Indonesia khususnya dipedesaan sudah lama menunggu sarana telekomunikasi tersedia di desanya.

Secara geografis, wilayah Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau jadi kendala pembangunan sarana dan prasarana telekomunikasi yang merata, selain keadaan ekonomi Indonesia yang sedang carut-marut dilanda krisis menjadi faktor penghambat. Belum lagi secara realitas perkembangan pembangunan Indonesia masih terpusat di Pulau Jawa sehingga masih terdapat ketimpangan perkembangan sektor ini. Tidak heran jika banyak kasus-kasus krusial yang disebabkan karena tidak adanya sarana komunikasi yang memadai.

Contohnya saja wabah diare di Papua sulit dipantau akibat kesulitan sarana komunikasi (Kompas, 30/1) dan untuk melaporkan berita berjangkitnya wabah diare, seorang kepala puskesmas harus berjalan kaki selama tujuh hari untuk mencapai puskesmas lain yang mempunyai perangkat radio SSB (single side band). Atau pada peristiwa meningkatnya aktivitas Gunung Egon di Flores yang meletus pada akhir Januari 2004, pemantauan oleh Direktorat Vulkanologi di Bandung sulit dilakukan akibat belum adanya sarana komunikasi radio.

II.4. Usaha yang dilakukan dan akan dilakukan dalam Meningkatkan Komunikasi Pedesaan

Untuk menjawab dan mencari solusi dari permasalahan yang terjadi dalam sistem komunikasi pedesaan tidaklah mudah dan memerlukan pemikiran dari para pakar dan putra-putri bangsa terbaik di negeri ini. Penulis coba mengajukan satu gagasan sederhana yang mungkin bisa menambah perbendaharaan wacana dalam pembangunan sistem komunikasi di Indonesia, yang dapat menjangkau dan dapat dinikmati oleh masyarakat di seluruh pelosok negeri ini.

Pertama, dalam membangun dan mengembangkan sarana dan prasarana telekomunikasi seyogianya tidak hanya bertumpu kepada komunikasi telepon kabel dan seluler/satelit saja. Melihat kondisi ekonomi kita yang terpuruk, yang terpenting dalam pembangunan dan pengembangan sistem komunikasi adalah segi biaya yang murah. Penghematan biaya seperti yang diusulkan pakar telekomunikasi DR Onno Widodo Purbo (Kompas, 10/1) perlu dijadikan alternatif yang bisa dilakukan sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri. Untuk daerah-daerah kepulauan atau pedalaman yang sulit dijangkau komunikasi kabel dan seluler bisa digunakan komunikasi radio, seperti HF (high frequency) dan VHF (very high frequency).

Sistem komunikasi tersebut memang agak atau bahkan sudah terpinggirkan (marjinal), namun dalam kondisi geografis dan keadaan ekonomi bangsa ini, sistem komunikasi radio itu dapat menjadi alternatif pilihan. Sistem komunikasi utama (kabel dan satelit) jika diintegrasikan dengan sistem komunikasi radio mungkin bisa menjadi salah satu solusi dalam rangka pemerataan informasi.

Kedua, untuk meningkatkan sumber daya manusia yang melek teknologi informasi perlu ada gerakan melek teknologi informasi yang tidak hanya bagi masyarakat kota, namun juga masyarakat pedesaan. Hasil survei yang dilakukan Lapan pada tahun 2003, ternyata banyak operator komunikasi radio di pemerintah kabupaten (subbagian sandi dan telekomunikasi) di luar Jawa yang masih memerlukan peningkatan kemampuan.

Belum lagi masih banyak ibu kota kecamatan yang belum terjangkau sarana komunikasi sama sekali. Untuk itu perlu dilakukan kegiatan pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan komunikasi radio tersebut. Perlu juga mendorong masyarakat atau pemerintah daerah (kabupaten dan kecamatan) untuk menggunakan sarana komunikasi alternatif (marjinal) yang lebih murah untuk mendukung operasional rutin.

Terakhir adalah perlunya koordinasi dan kerja sama antara lembaga penelitian yang berkompeten dengan telekomunikasi, seperti Lapan, LIPI, BPPT, LEN, dan yang lainnya, ataupun perguruan tinggi teknik yang tersebar di negeri ini. Diharapkan, mereka bisa bekerja sama membantu pemerintah untuk menyiapkan dan mewujudkan masyarakat informasi pada tahun 2015. Sudah seharusnya hasil riset yang telah dilakukan dengan biaya yang tidak kecil bisa memberikan sumbangsih kepada masyarakat untuk menyongsong terwujudnya masyarakat informasi.

Perkembangan jasa telekomunikasi memainkan peran penting dalam memicu perkembangan kondisi sosial dan ekonomi suatu wilayah. Sayangnya, perkembangan teknologi komunikasi di Indonesia yang semakin marak sejak ditemukannya teknologi “wireless-phone”, masih terpusat kawasan perkotaan. Sebaliknya, dari total 67.000 desa di seluruh Indonesia, sebanyak 43.000 desa belum memiliki akses telekomunikasi apapun. Padahal, 80% wilayah Indonesia adalah wilayah pedesaan.

Persoalan ini menjadi keprihatinan Dr. Ir. Joko Siswanto MPA, ahli manajemen inovasi bisnis pada Program Studi Teknik Industri ITB. Tidak berhenti pada tatar keprihatinan semata, Dr Joko Siswanto bersama tim riset ICT ITB berupaya memberikan sumbangsih dalam bentuk solusi nyata yang manfaatnya langsung dirasakan masyarakat. Berawal dari inventory IP PBX tahun 2003, Joko Siswanto memimpin tim riset yang merancang sistem dan skema bisnis teknologi komunikasi pedesaan berkelanjutan. Penelitian yang terpilih sebagai riset unggulan ITB ini bernama Rular Next Generation Network (R-NGN). R-NGN yang berbasis teknologi 4G dikembangkan dengan menerapkan lima jenis teknologi sekaligus yaitu, Internet Protocol (IP), Multimedia, Wireless Ethernet Bridge, Soft-Switch, dan Sistem DSP (Langi, 2006). R-NGN mampu menyediakan layanan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) mulai dari telepon, sms, akses internet dan layanan multimedia bertarif murah bagi daerah pinggiran yang saat ini belum terjangkau jaringan telekomunikasi manapun. Menurut Joko Siswanto, skema pemanfaatan R-NGN bagi pemberdayaan ekonomi pedesaan yang paling tepat adalah dengan sistem franchise yang terbagi dalam tiga tahap yakni inisiasi awal (initiation), tahap perkembangan (development), dan tahap perbanyakan (replication). Tahap pertama dan kedua telah diterapkan di Kawasan Punclut, Bandung Utara yang sejak tahun 2004 ditetapkan sebagai ‘a smart community test-bed’. Aplikasi yang lebih luas (tahap tiga) akan terlaksana kira-kira bulan Maret mendatang di Kabupaten Subang. Disini R-NGN akan dikelola oleh koperasi masyarakat sehingga diharapkan berkembang menjadi unit usaha lokal. Joko Siswanto menambahkan bahwa skema bisnis yang bertujuan untuk menumbuhkan wirausahawan lokal ini, akan berkembang maksimal jika masyarakat sebagai local entrepreuners mendapatkan dukungan dari segenap stakeholder. Stakeholder yang dimaksud adalah pemerintah yang memiliki kewenangan dalam aspek regulasi, provider telekomunikasi, universitas (ITB) yang dapat memberikan pembinaan teknis dan bantuan permodalan dari bank atau lembaga kredit keuangan. Publikasi riset ini diataranya dalam Proceeding of International Conference on Rural Information and Communication Technology 2007, Bandung, 6-7 Agustus 2007. Menyusul dalam Proceeding of International Conference of APIEMS 2007, 10-12 Desember 2007 mendatang.

Tidak hanya itu, pemerintah juga berpendapat bahwa yang menarik perhatian adalah Peranan Komunikasi Tradisional sebagai penciptaan dinamika nilai sosial budaya masyarakat yang berfungsi dalam upaya Transformasi Pembangunan Desa. Dengan demikian untuk mencapai hasil nyata pembangunan sarana utama menggairahkannya dapat diamati dari berbagai aspek yang sangat dominan mempengaruhi penggerakkan antara lain : perilaku manusia, mdtivasi, kepemimpinan, komunikasi , dan human relations. Sebab pada dasarnya penggerakkan se-bagai salah satu fungsi organik memiliki dampak langsung terhadap perilaku masyarakat sebagai bagian yang dibangunun untuk melaksanakan ke-giatan pembangunan itu sendiri.

Salah satu aspek yang menonjol disini adalah komunikasi tradisional dalam fungsinya sebagai transformasi pembangunan di pedesaan. Padahal ditinjau dari aspek budaya memang komunikasi tradisional sangat positif peranannya dalam rangka menghimpun masyarakat untuk melaksanakan pembangunan ,di desanya.

Beberapa Pemberitaan mengenai usaha pemerintah dalam meningkatkan komunikasi di pedesaan:

* BANDUNG -- Institut Teknologi Bandung (ITB) tengahmengembangkan teknologi informasi dan komunikasi yang memungkinkan bagi masyarakat pedesaan.

Saat ini sistem yang berbasis pada Voice over Internet Protocol (VOIP) tersebut sudah diujicobakan di kampus ITB dan daerah Punclut, Kota Bandung. ''Namanya Rural Next Generation Network atau R-NGN,'' kata Kepala Pusat Penelitian Teknologi Informasi Komunikasi ITB, Armein ZR Langi, Sabtu (14/7). Melalui R-NGN, sambung dia, masyarakat di pedesaan bisa mendapatkan kemudahan mengakses informasi. Harapannya di setiap desa nantinya bisa ada server atau unit akses desa yang fungsinya beragam.

''Mulai dari telepon gratis antara sesama penduduk satu desa, mengakses video, pesan singkat, sampai memperdengarkan musik tradisional daerahnya secara digital ke seluruh dunia,'' katanya menjelaskan. ITB sudah menggunakan ini selama tiga tahun untuk operasi sehari-hari. Di Bandung utara, ada delapan rumah yang menggunakannya dengan frekuensi radio 2,4 giga hertz.

Armein menargetkan apabila riset ini disetujui oleh pemerintah dalam bentuk regulasi maka pada tahun 2012 diharapkan 20 persen dari penduduk Indonesia sudah bisa mengaksesnya. (Kompas)

* Pembangunan Jaringan Komunikasi Dipercepat

Pembangunan infrastruktur jaringan komunikasi untuk pulau terluar akan dipercepat untuk menjadikan Sumatera sebagai pulau digital. Jaringan akses internet cepat saat ini sudah masuk ke Pulau Natuna, untuk beroperasi pada awal November mendatang.

Pembangunan infrastruktur itu, kata GM Eksekutif Telkom Divisi Regional I Sumatera Awaluddin, bertujuan menekan gap ketersediaan jaringan infrastruktur tersebut dengan Pulau Jawa. "Selama ini ada gap dengan Jawa soal akses komunikasi, termasuk internet. Kami akan upayakan gapnya makin kecil," tuturnya, Selasa (30/10).

Masuknya internet di Pulau Natuna, tambahnya, makin melengkapi pemenuhan yang sama di sejumlah pulau terluar. Saat ini, sejumlah daerah telah memiliki jaringan komunikasi fixed line dan internet, antara lain di Pulau Batam, Pulau Bintan, Pulau Bangka, Pulau Belitung, dan Tanjung Karang serta Karimun. Sementara sejumlah pulau kecil terluar lainnya, Pulau Rondo dan Pulau Rupat, dalam waktu dekat juga akan segera memilikinya.

Jaringan pedesaan

Selain pulau terluar, kata Awaluddin, Telkom juga mengupayakan pembangunan jaringan untuk pedesaan mengingat 45 persen calon pelanggan di pedesaan belum terlayani. Dari 1.243 desa di Jambi, hanya 685 desa yang dimasuki jaringan telepon kabel. Sejumlah kendala dikemukakannya, antara lain sulitnya menjangkau wilayah di perairan di samping jaringan listrik. Sementara di tingkat ibu kota kecamatan, masih 75 persen pelanggan yang dapat dilayani. Pemenuhan akses komunikasi, selebihnya dipenuhi oleh jaringan tanpa kabel. Di Sumatera, jumlah pelanggan akses internet cepat, mencapai 30.000 pelanggan. (ITA). (Republika)

* Wimax Alternatif Solusi Komunikasi Pedesaan

WiMax mungkin tidak hanya cocok sebagai solusi komunikasi data pita lebar untuk Metropolitan Area Network (MAN), namun juga sebagai alternatif untuk komunikasi pedesaan. Daya jangkau dan kapasitas mengirimkan data yang besar adalah kekuatan WiMax dibandingkan teknologi sebelumnya. WiMAX mampu mengirimkan data hingga 75 megabit per detik (Mbps) untuk setiap base station (BTS) dengan jari-jari sel berukuran 2 hingga 10 kilometer.

Meskipun belum dirilis secara komersial di pasaran, teknologi WiMax terus melakukan uji coba di berbagai tempat dan berbagai aplikasi. Meskipun sempat tertunda masalah birokrasi, salah satu produk Pre-Wimax telah dipakai untuk melayani komunikasi data di Aceh pasca gempa bumi. Dari 3 BTS yang terpasang di sana telah menghubungkan 29 titik akses untuk keperluan pendidikan, media, komunikasi, dan pertukaran data dan informasi.

Baru-baru ini Intel Corporation, perusahaan pengembang utama WiMax mengumumkan program Asian Broadband Campaign, sebuah program kerjasama regional yang bertujuan mempercepat penggunaan pitalebar nirkabel di negara-negara Asia Tenggara. Intel menyediakan teknologi, perangkat dan solusi komunikasi pita lebar nirkabel ini untuk pemerintah, operator telekomunikasi, kantor-kantor layanan umum pendidikan, kesehatan, dan pertanian.

Percobaan-percobaan ini bisa memudahkan komunikasi di berbagai sektor dan lokasi untuk membantu negara-negara tersebut memenuhi United Nations Millenium Development Goals (MDG). "Negara-negara berkembang di Asia Tenggara telah berkomitmen pada PBB untuk memberantas kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar utama, dan berbagai pengembangan di tahun 2015," kata Sean Maloney, Executive Vice President, Mobility Group, Intel Corporation. Menurutnya, WiMAX bisa menjadi pondasi yang membantu mereka mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Program tersebut juga sejalan dengan visi d-ASEAN (Digital ASEAN) Intel bahwa desa-desa, provinsi-provinsi, kota-kota dan negara-negara yang saling terhubung sehingga memunculkan sebuah wilayah terintegrasi yang kuat seperti China dan India. Persiapan dan percobaan pengunaan WiMAX telah dilakukan di Amerika Utara dan Eropa. Percobaan implementasi di Malaysia, Thailand dan Filipina akan dirasakan hasilnya di akhir tahun 2005. Sedangkan di Indonesia dan Vietnam diharapkan dimulai tahun 2006.

Sejak akhir 2004, Intel telah bergerak dengan banyak tahap-tahap konsultatif dengan Pemerintah dan penyedia-penyedia layanan. Termasuk ke dalam hal ini adalah workshop-workshop kebijakan spektrum, pemodelan wilayah kota-desa, dan percobaan penggunaan.

Percobaan di ASEAN

Di Thailand, percobaan-percobaan WiMAX sedang dilakukan di komunitas-komunitas Khorat, Chiang Mai dan Roi Et. Percobaan-percobaan ini secara spesifik akan menguji layanan dan aplikasi untuk mendukung komunikasi di wilayah-wilayah pinggiran kota, layanan kesehatan, pendidikan, inkubasi UKM, integrasi jaring persediaan pertanian dan layanan-layanan pelanggan lain seperti Voice over IP (VoIP). Percobaan-percobaan ini juga akan dikaji ulang oleh organisasi-organisasi bantuan internasional dengan tujuan menjadikannya sebuah cetak biru yang mungkin bisa digunakan di Negara-negara ASEAN.

Percobaan WiMAX saat ini juga sedang dilakukan di penghubung administratif pemerintah Malaysia, Putrajaya. Baru-baru ini, percobaan dilakukan di Kepala Batas, di mana komunitas-komunitas praktisi medis, pelajar-pelajar dan guru-guru di lokasi-lokasi terpencil yang berbeda menguji kemampuan WiMAX di sektor-sektor kesehatan dan pendidikan, termasuk kehidupan sehari-hari mereka.

Di Filipina, tujuan pemerintahnya untuk meningkatkan penggunaan teknologi PC di kantor-kantor pemerintah dan membangun infrastruktur digital di seluruh negara tersebut, akan dilanjutkan dengan penggunaan teknologi-teknologi pitalebar nirkabel termasuk WiMAX di seluruh sektor-sektor penting Filipina sebelum akhir tahun 2005.

Percobaan-percobaan ini adalah bagian dari 100 percobaan WiMax yang sedang berlangsung di seluruh dunia sekarang. Keinginan-keinginan pemerintah dan operator dalam menggunakan WiMAX adalah bukti jelas bahwa teknologi ini benar-benar ada dan pengguna-pengguna akhirnya akan mendapatkan manfaat dari layanan-layanan pitalebar nirkabel.

Akankah WiMax segera diadopsi di Indonesia? Jika uji coba Pre-Wimax di Aceh sempat tertunda karena birokrasi, seharusnya strategi dan aplikasi adopsi teknologi WiMax standar disiapkan jauh-jauh hari agar benar-benar tepat sasaran. Apalagi jika hendak dipakai dalam program Universal Service Obligation (USO) untuk melayani komunikasi di pedesaan dan daerah terpencil. (KOMPAS)

* Bogor: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap agar PT Telkom meningkatkan pelayanannya sehingga teknologi komunikasi dapat menjangkau seluruh pedesaan yang ada di tanah air.

Harapan Presiden itu dikemukakan saat meresmikan pengoperasian satelit Telkom II di Stasiun Pengendali Satelit Telkom di Klapa Tunggal, Bogor, Jawa Barat, Jumat (24/2) pagi. Satelit Telkom II ini, kata Presiden, memiliki jangkauan lebih luas dari satelit sebelumnya. Cakupan satelit Telkom II ini tidak hanya meliputi kawasan Asia Tenggara, tetapi juga menjangkau wilayah Asia Selatan dan Australia.

"Karena itulah di dalam negeri sendiri, pemakaian satelit ini diharap dapat meningkatkan pelayanan telekomunikasi hingga dapat menjangkau seluruh pedesaan yang ada di tanah air," kata Presiden. Ditambahkan, sejak tahun 1976 Indonesia telah meluncurkan satelit Palapa. "Peristiwa itu menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara ketiga di dunia yang mengoperasikan sistem komunikasi satelit domestik. Kita termasuk pioner diantara negara berkembang, karena membangun sistem komunikasi dengan menggunakan satelit. Langkah itu harus kita teruskan dengan mengembangkan sistem telekomunikasi yang canggih, sejalan dengan perkembangan teknologi mutakhir," tambah Presiden.

Menurut Presiden, kebijakan-kebijakan kita dalam mengembangkan sistem telekomunikas domestik itu bukan mengada-ada. "Negara kita tergolong negara besar di dunia, dengan wilayah hampir seluas benua Eropa dan jumlah penduduk kurang lebih 215 juta jiwa. Kelancaran komunikasi bukan hanya membawa dampak bagi kelancaran ekonomi, tetapi juga berdampak pada rasa kesatuan dan persatuan bangsa, juga dunia pendidikan, sosial dan budaya masyarakat kita. Penggunaan satelit telekomunikasi tidak hanya terbatas untuk telepon, radio dan TV, tetapi juga dapat memperlancar kegiatan bisnis seperti transaksi perbankan, perdagangan dan informasi pasar," kata Presiden.

Ditambahkan, sitem komunikasi dapat memperlancar tugas pemerintahan, pertahanan dan keamanan. "Tentu, setiap kemajuan teknologi komunikasi akan membawa dampak tersendiri seperti kejahatan dalam dunia maya, cybercrime, pornografi dan lain-lain. Namun kita tidak perlu takut semua itu, karena kemajuan akan selalu mempunyai ekses, baik yang positif maupun negatif. Yang penting kita kelola semua itu hingga tidak menimbulkan dampak yang tidak kita kehendaki. (Republika)

1 komentar:

Unknown mengatakan...

boleh gk,ijin share gan....

andi_khaerul@yahoo.com