Senin, 05 Mei 2008

SISTEM KOMUNIKASI INDONESIA

KOMUNIKASI di INDONESIA

Pengertian komunikasi sebagai proses interaksi manusia kemudian membuatnya berfokus pada simbol-simbol,seperti berbagai simbol, memahami simbol bahkan memanipulasinya. Sedangkan politik berasal dari kata polis yang artinya negara kota, secara totalitas merupakan kesatuan antara negara (kota) dengan masyarakat.
Rusadi Kartaprawira mendefinisikan komunikasi politik seperti berikut..
komunikasi politik untuk menghubungkan pikiran politik yang hidup dalam masyarakat, baik pikiran intra golongan, istitusi, asosiasi maupun sektor kehidupan politik masyarakat dengan sektor kehidupan politik pemerintah"

Komunikasi Politik Di Indonesia

Komunikasi yang berlaku pada era Soeharto adalah komunikasi searah, yaitu komunikasi dari atas ke bawah (top-down). Presiden memberikan petunjuk dan pengarahan, langsung disetujui oleh DPR (yang selalu didominasi oleh Golkar) dan para menteri serta gubernur. Kemudian Gubernur memberi petunjuk dan pengarahan kepada DPRD tingkat I dan para Bupati, dan Bupati ke DPRD tingkat II dan para camat, dan begitu seterusnya sampai pada tingkat desa.

Untuk mengelola negara sebesar Indonesia, dengan jumlah penduduk yang meningkat terus dari hampir 200 juta, sampai sekarang sudah mencapai 220 juta, dan heterogenitas penduduk yang sangat luar biasa, sistem komunikasi politik searah ini sudah terbukti sangat efektif selama 32 tahun. Tetapi sistem komunikasi ini terbukti tidak bisa bertahan selamanya. Bersamaan dengan Krisis Moneter yang berkembang juga menjadi Krisis Politik, rezim Soeharto pun tumbang, dan pola komunikasi langsung berubah arah: dari bawah ke atas (bottom-up).

Namun pola komunikasi bawah-atas ini, langsung terbukti sama tidak efektifnya. Bahkan lebih tidak efektif, karena jika semasa Soeharto yang terasa adalah keluhan pihak-pihak yang frustrasi karena aspirasinya tidak tersalur (misalnya: kelompok PDI Mega, Petisi 50, mahasiswa dsb.), pada era pasca-Soeharto, yang terjadi adalah anarki yang tidak habis-habisnya, sehingga dalam tempo singkat presiden RI berganti 4 kali. Masalahnya, dalam pola atas-bawah, maupun bawah-atas, sama-sama tidak terjadi dialog (komunikasi dua arah), yang terjadi hanya monolog (komunikasi searah).

Untuk merubah komunikasi searah menjadi dua arah bukanlah perkara gampang. Dimana saat ini sering kita dengar mengenai “duduk bersama”. Tetapi hal ini belum bisa mengatasi masalah yang sebenarnya yaitu kebanyakan orang hanya ingin berbicara dan didengarkan tanpa mau mendengarkan. Seperti sebuah pepatah mengungkapkan bahwa “keberanian berbicara, harusnya bisa dibarengi dengan kearifan mendengar”. Jadi, pada saat “duduk bersama” itu seharusnya semua pihak bisa saling menghargai dan mau mendengarkan satu sama lain. Sikap ingin menang sendiri dan sikap yang ngotot akan pendapatnya dan tidak mau menghargai pendapat orang lain tentu sangat bertentangan dengan esensi komunikasi dua arah tadi.

Apa yang terjadi pada komunikasi politik saat ini adalah kedua komunikasi politik dari atas ke bawah (top down) ataupun dari bawah ke atas (bottom-up) sudah ada namun kedua hal tersebut belum berada pada jalur yang sama. Artinya, sudah ditemukan kedua hal tersebut tetapi perbedaan dan perselisihan yang terjadi belum bisa diselesaikan bersama karena kedua hal tersebut hanya saling bersenggolan dan belum bertemu, penulis menganalogikan komunikasi politik saat ini seperti pepatah “anjing menggonggong, kapilah pun berlalu”. Aspirasi rakyat hanya dianggap sebagai gonggongan belaka dan pemerintah adalah kapilah yang terus berlalu walaupun suara gonggongan itu semakin terdengar parau.

Kesiapan mental seseorang untuk menjadi seorang elite pun seharusnya dipersiapkan dengan matang. Seharusnya prinsip yang ada dalam pikiran mereka bukanlah ABS (Asal Bapak Senang) melainkan bagaimana bertanggung jawab terhadap masyarakat yang telah memilih merka yang sebenarnya keinginan mereka cukup sederhana yaitu bagaimana mendapat minyak dengan gampang dan murah. Mungkin hal ini disebabkan karena banyaknya wakil rakyat instan alias bukan seseorang yang benar-benar memiliki karier politik, karena kebanyakan wakil rakyat saat ini pada awalnya berprofesi sebagai artis, ulama, LSM dan lain-lain pada hari sebelumnya. Karena pada kenyataannya sekarang Indonesia adalah negara yang penuh dengan hal yang instan mulai dari mie instan, artist instan hingga pejabat instan yang hanya mengandalkan popularitasnya bukan program kerjanya.

"Saya mencatat ada 14 model komunikasi politik yang salah diterapkan oleh SBY-JK dan para menterinya selama satu tahun memerintahnya,"

Hal tersebut disampaikan pakar komunikasi Universitas Indonesia DR Effendi Gazali saat menjadi pembicara dialog "Demokrasi Ekonomi dan Demokrasi Politik Dalam Perpektif Pancasila di Era Otonomi Daerah", yang diselenggarakan oleh Gerakan Mutiara Pancasila di gedung Graha Shaba Buwana Solo pada tahun 2005 lalu.

Dalam artikel lengkap yang diterbitkan oleh kompas beliau mengungkapkan hal yang paling vital adalah komunikasi politik tergesa-gesa.

Peran Pers Indonesia Dalam Komunikasi Politik

Indonesia saat ini resminya menganut sistem pers yang bebas dan bertanggungjawab. Konsep ini mengacu ke teori "pers tanggungjawab sosial." Asumsi utama teori ini adalah bahwa kebebasan mengandung di dalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan. Maka pers harus bertanggungjawab pada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi penting komunikasi massa dalam masyarakat modern. Namun dalam prakteknya, pers harus bertanggungjawab pada pemerintah.

Kebebasan Pers Indonesia baru didapatkan pada era B.J Habibie, setelah 32 tahun pers Indonesia terkungkung oleh aturan yang dikeluarkan pemerintah orde baru, pergerakan pers amat sangat terbatas pada saat itu. Pers Indonesia yang dikenal dengan nama “Pers Pancasila”. Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984) merumuskan Pers Pancasila sebagai berikut: "Pers Indonesia adalah Pers Pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945." Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.

Jika dilihat dari pengertian Pers Indonesia dan Pers Pancasila seharusnya pers kita pada saat ini sudah berjalan sesuai fungsinya (seperti sudah disebutkan diatas). Tapi yang terjadi saat ini adalah masih adanya ketakutan pers akan pemerintah, misalkan sulit dibayangkan pers Indonesia secara lugas dan terbuka bisa memuat isu tuduhan korupsi/kolusi/monopoli terhadap Presiden atau keluarganya. Padalah di negara demokratis Presiden bukanlah jabatan suci yang tak bisa tersentuh (orang yang cuma nyindir aja udah di ancam somasi =p).

Tidak ada komentar: